Tiga hari tiga malam gadis di sini menangis sejadi-jadinya, terpaksa menikah meski tak kenal calon suami
Gadis-gadis belia yang baru berusia belasan tahun terpaksa menikah karena tuntutan adat meski sama sekali belum mengenal calon suami.
Tradisi aneh pernikahan ini terjadi di pedesaan bernama Lung Yeuk Tau, Hong Kong yang masih konservatif dengan adat yang ditinggal leluhur.
Melansir eva.vn, pada 1960 di daerah tersebut melakukan kebiasaan yang aneh terkait perjodohan dua manusia.
Sebagian pernikahan di daerah itu dilakukan dengan cara perjodohan.
Gadis yang masih berusia belasan tahun pasti menangis sejadi-jadinya karena dijodohkan dengan lelaki yang belum sama sekali dilihat apalagi mengenalnya.
Tak hanya itu, setelah perjodohan itu, seorang gadis yang telah dijodohkan juga akan langsung dibawa pulang oleh suami mereka.
Tradisi unik ini juga menarik perhatian kelompok aktivis yang berbasis di Hong Kong dan mengangkat tradisi ini menjadi sebuah film dokumenter dengan judul "Yesterday One More".
Pada film tersebut dikisahkan tujuh orang perempuan menceritakan kisah pilu tradisi perjodohan di desanya.
Mereka bercerita bagaimana ratapan kesedihan muncul dirasakan gadis-gadis pada masa itu sebelum meninggalkan orangtua mereka gara-gara perjodohan.
Liu Kam Lan, salah satu diantara gadis pada masa itu yang mengalami perjodohan dan terpaksa ikut dengan lelaki yang tidak dikenalnya.
Liu menceritakan bahwa di hari-hari terakhir menjelang pernikahan, dirinya tak kuasa menahan kesedihan akan berpisah dengan keluarga.
Setelah perjodohan, gadis-gadis akan di bawah dan akan menjalani ritual pernikahan di rumah seorang pria dan tidak akan kembali ke desanya, selamanya.
Ya, Liu memang bukan perempuan satu-satunya yang harus melalui tradisi semacam itu.
Hal serupa juga dialami sebagian besar perempuan seusianya saat itu.
Para wanita belia di sana tidak mengalami sekolah atau pendidikan layaknya perempuan modern dan jika tidak beruntung, mereka akan dijumpai seorang 'mak comblang' dan dijodohkan dengan pria asing dari desa lain.
Tradisi perjodohan ini berlangsung dalam beberapa periode dan kisah-kisahnya kini turun temurun dari generasi ke generasi.
Sebuah LSM mencatat bahwa meski tidak seluruhnya tradisi perjodohan tersebut buruk, namun sebagian besar gadis yang mengalaminya justru tidak bahagia.
Tak sedikit yang akhirnya menghabiskan seluruh usia mereka melayani suami dan keluarganya.
Hanya ketika suami mereka meninggal 'mimpi buruk' itu akan berakhir.
Untuk diketahui bahwa Kawasan Lung Yeuk Tau memiliki 5 desa dengan sejarah lebih dari 700 tahun.
Waktu telah banyak mengubah tempat ini karena sawah kini telah berubah menjadi gedung-gedung tinggi, tempat parkir modern. Nasib manusia tidak lagi sama seperti dulu.
Para wanita tua dengan bersemangat menceritakan kisah mereka. Sebagian besar dari mereka telah mengalami kehidupan yang sulit, kekurangan dan pernikahan yang tidak bahagia.
"Saya dibesarkan di desa San Tin, ketika saya berusia 9 tahun, saya mulai bekerja untuk membantu orang tua saya dan tidak bisa pergi ke sekolah seperti itu. Seluruh keluarga menanam padi, dan saya cenderung menggembalakan kerbau," kata Man Kam-hop, salah satu wanita tertua di desa itu.

Ketika dia masih kecil, keluarganya sangat kaya, memiliki pabrik kembang api, di rumah itu ada pelayan dan pelayan.
Tetapi setelah tahun 1949, kekayaannya disita dari dana publik, dia menderita kemiskinan, makan kurang dari semangkuk nasi sepanjang hari, dan harus makan ubi jalar kecuali untuk makan.
Saya hanya disuruh patuh pada suami dan mentaati mertua. Tidak ada yang lain, patuh saja," kenangnya.
Sebelum kembali ke rumah suaminya, Bu Leung menghabiskan empat malam di loteng, menangis sampai air matanya hilang.
Ada juga Man Fung-king, dari desa San Tin, juga mengalami perjodohan.
Pertama kali dia bertemu calon suaminya di sebuah restoran, Man Fung-king berusia 17 tahun, sangat ketakutan dan khawatir.
Kerabat dari kedua belah pihak juga mengepung pasangan muda itu pada pertemuan hari itu dan setelah beberapa saat, Nyonya Fung-king kembali menjadi pengantin istrinya.
Tiga hari sebelum pernikahan, teman pengantin wanita datang untuk menghiburnya. Man Fung king dan teman-temannya hanya bisa duduk di loteng dan menangis dan bernyanyi bersama
Meski begitu, kebiasaan perjodohan sekarang sudah hilang dan kisah-kisah duka mempelai wanita juga sudah ada di masa lalu.
Tanpa dokumenter ini, lagu-lagu tersebut akan hilang sama sekali ketika generasi ini telah tiada. Berkat mereka dan lagu-lagu mereka, kita bisa melihat bagian dari sejarah dan nasib perempuan di masa lalu.***