Wanita bebas tidur dengan pria berbeda tanpa ikatan pernikahan. Apa penyebabnya?
Pola matriarki atau dominasi wanita dalam memimpin dengan sistem otoritas yang diturunkan dari pihak wanita, umumnya jarang ditemukan di Indonesia, bahkan di dunia.
Namun, sebuah suku yang berada di kaki gunung Himalaya masih menerapkan sistem ini, dan menjadi salah satu dari beberapa masyarakat matriarki yang tersisa di dunia.
Mereka adalah suku Mosuo, merupakan sebuah suku minoritas dari etnis Naxi di China, yang mayoritas anggotanya adalah perempuan, dan merupakan sebuah komunitas suku kuno dari umat Budha Tibet.
Mereka tinggal di tepi danau Lugu yang terletak di barat laut dataran tinggi Yunnan, di perbatasan Provinsi Yunnan dan Provinsi Sichuan di China.
Di suku ini, wanita telah memimpin Mosuo selama 2000 tahun, dan wanita memiliki hak untuk memutuskan segalanya.
Setiap keluarga selalu seorang perempuan yang handal dan sangat dihormati oleh anggota lainnya.
Di suku ini para wanita bebas untuk memilih pasangan seksualnya, bekerja, memiliki anak, menentukan pilihan hidup, hingga merawat orang tua.
Wanita dari suku ini juga boleh memiliki dan mewarisi properti bertani, mengurus rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengasuh anak.
Bahkan mereka juga dapat melakukan pekerjaan pria seperti membangun dan memperbaiki rumah, membajak serta membuat keputusan besar dalam keluarga.
Sedangkan pria Mosuo justru tidak di hormati disana.
Pria Mosuo bekerja sebagai pembajak, membangun rumah, dan menyembelih ternak.
Sedangkan pria Mosuo justru tidak di hormati disana.
Pria Mosuo bekerja sebagai pembajak, membangun rumah, dan menyembelih ternak.
Suku Mosuo tidak menjalani pernikahan seperti masyarakat pada umumnya, para wanita bebas untuk tidur dengan pria manapun yang diinginkan tanpa ada ikatan pernikahan.
Pada usia 13 tahun wanita di suku ini sudah dianggap cukup dewasa dan akan mendapatkan kamar tidurnya sendiri, serta bebas untuk mengundang pria yang disenangi dan tidur dengan mereka sampai pagi.
Hubungan ini bersifat pribadi dan tidak diizinkan untuk disebutkan namanya di depan umum.
Setiap kali ada acara pertukaran, anak laki-laki dan perempuan Mosuo akan menari bersama.
Setiap gadis dapat memilih anak laki-laki untuk bersenang-senang dengannya jika si pria menyukainya lebih dulu, dia akan menyentuh tangan gadis itu untuk mengajaknya berdansa.
Jika gadis itu juga punya perasaan maka ia akan menerima undangan itu dengan menyentuh kembali tangan anak laki-laki tersebut.

Setiap malam anak laki-laki Mosuo akan naik ke rumah gadis yang disukainya melalui tangga, dan masuk ke kamar gadis tersebut sampai pagi.
Mereka akan bersama-sama sepanjang malam, namun pria itu harus pergi sebelum matahari terbit.
Di suku Mosuo, para gadis memegang inisiatif dalam urusan cinta, jika seorang gadis ingin menghentikan hubungan tersebut, ia berhak untuk tidak membuka pintu atau meletakan sepasang sepatu lelaki di luar pintu.
Wanita suku Mosuo juga dapat melakukan hubungan intim dengan laki-laki yang berbeda setiap malam.
Lebih dari itu, para wanita suku Mosuo bebas memilih lebih dari satu pria yang akan diundang ke kamarnya.
Pria yang mengunjungi dan tidur dengan seorang wanita harus meletakkan topi di pegangan pintu tempat wanita tersebut tinggal, sebagai tanda bagi pria lain agar tidak masuk.
Kegiatan ini disebut 'Aksia'.
Aksia bisa berlangsung pada satu malam atau bahkan lebih, sehingga bisa menjadi cara mendapatkan keturunan bagi wanita suku mosuo. Hal ini disebut dengan pernikahan berjalan.
Jika wanita suku Mosuo hamil dan melahirkan, maka anak-anaknya kelak tidak akan tahu siapa ayah kandung mereka.
Tidak seorangpun pria pernah menjadi ayah dari anak yang mereka lahirkan. Karena suku Mosuo tidak memiliki tradisi perkawinan, dan mereka tidak ada definisi suami dan istri.
Anak yang lahir dari pernikahan berjalan tersebut akan diasuh oleh ibunya dengan bantuan saudara kandungnya.
Sedangkan para pria yang menghamili wanita suka Mosuo, tidak diwajibkan menafkahi ataupun mendidik anak mereka.
Bagi mereka semua orang sama, jadi tidak ada yang peduli siapa ayah mereka.
Mereka bekerja bersama menikmati hidup dan bermain diwaktu luang. Selain itu, suku Mosuo tidak memiliki konsep perceraian atau anak-anak tidak sah.
Meski demikian, anak laki-laki dan perempuan di sana bersatu sepenuhnya adalah karena kasih sayang dan cinta, bukan karena apapun.
Norma yang berlaku di suku yang dirajai perempuan ini, membuat lelaki tidak ada harganya.
Sebenarnya, sejarah mencatat bahwa mereka pernah hidup normal layaknya kebanyakan orang.
Namun, dahulu kala para perempuan sering ditinggal suami mereka untuk berdagang di jalur sutra dari China ke India.
Karena kesepian dan sakit hati mereka memutuskan untuk hidup dan kawin tanpa ada ikatan.
Mereka juga lah yang menentukan segala sesuatu tanpa melibatkan lelaki.
Walaupun hal ini tidak wajar di negara lain, bagi mereka hal tersebut merupakan tradisi yang harus dijaga karena sudah berumur ribuan tahun.
Meski demikian, di era yang sudah semakin modern generasi muda suku Mosuo mulai meninggalkan tradisi tersebut.
Mereka memilih menikah dengan suku lain dan sebagai orangtua utuh bagi anak-anaknya.
Selain itu, ancaman kesehatan seperti HIV atau AIDS bisa menyerang suku mereka, dan sejak tahun 1970 pemerintah China juga mendukung penghentian tradisi tersebut demi menghormati hak-hak wanita.
Karena penasaran dengan tradisi suku Mosuo ini, banyak wisatawan mengunjungi negara tersebut untuk melihat adat dan budaya dari suku Mosuo.***