Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tak Dapat Bantuan PKH, Pasutri di Bandar Lampung Beri Makan 9 Anak Bumbu Penyedap Rasa dan Garam

 


Satu keluarga yang tinggal di Kelurahan Segalamider, Lingkungan III, Kec. Tanjungkarang Barat, Bandar Lampung, diketahui tidak tersentuh bantuan Program Keluarga Harapan (PKH).

Mirisnya, pasangan suami istri (pasutri) ini juga harus memberikan makan sembilan orang anaknya dengan nasi campur garam dan bumbu penyedap rasa.

Pasutri ini diketahui terakhir kali mendapatkan bantuan PKH hanya di tahun 2020 lalu. 

Badriah (36) menjelaskan, dirinya bersama dengan suaminya harus bertahan hidup dengan makan nasi dengan garam karena sejak tahun 2020 lalu sudah tidak pernah menerima PKH.

Padahal ia dan anak-anaknya sangat membutuhkan bantuan tersebut untuk bertahan hidup.

Adapun ke sembilan anaknya yakni  paling tua bernama SMP bernama Tama (13), Jaya (12), Nita (10), Indah (8), Cira (6), Madon (3), Njawa (1,5), dan bayi kembar berusia tiga hari.

Sang Istri Badriah menceritakan, ia terkadang sering menangis melihat tetangganya dapat bantuan dari pemerintah, padahal ekonomi mereka jauh diatasnya.

"Sering saya liat tetangga dapat bantuan, padahal mereka punya motor, ada yang punya rumah sendiri, kok saya yang kek gini sama sekali gak dapet," kata dia.

Terakhir tahun 2020 ia mendapat bantuan PKH berupa beras, telur ayam dan lainnya. Setelah itu ia tidak pernah menerima tanpa ada pemberitahuan.

"Saya tanya ke panitia, waktu itu katanya no KTP sama KK gak beda, sudah di urus suami saya setahun lalu sampai sekarang gak dapet disuruh sabar terus," jelas dia.

Masih kata Badriah, suaminya, Firdaus apabila memberikan nafkah seadanya saja. "Ngasih berapa aja saya ambil, gak mampu beli lauk saya makan nasi campur garam," katanya.

Terkadang tidak mampu  untuk membeli beras, Badriah memberikan anaknya teh campur dan satu roti dibagi rata kepada anak-anaknya untuk bertahan hidup.

Namun, jika mereka tidak ada uang, ia harus rela menyuruh anaknya untuk berpuasa dua hari satu kali.  Walau terkadang sering menangis kelaparan.

"Kadang mereka nangis laper, saya kasih air putih, ajak anak-anak puasa. Tega gak tega ini demi bertahan hidup," jelasnya.

Subadriah menceritakan setiap pagi anaknya tidak pernah sarapan hanya diberi air putih.  Untuk siang harinya diberi nasi campur garam karena tidak ada uang untuk membeli lauk pauk layaknya masyarakat biasa.

"Kadang mereka nangis laper, saya kasih air putih, ajak anak-anak puasa. Tega gak tega ini demi bertahan hidup," jelasnya.

Subadriah menceritakan setiap pagi anaknya tidak pernah sarapan hanya diberi air putih.  Untuk siang harinya diberi nasi campur garam karena tidak ada uang untuk membeli lauk pauk layaknya masyarakat biasa.

Suaminya yang bekerja sebagai pemasang batu nisan, tidak cukup untuk membiayai sembilan orang anaknya, bahkan bayar kontrakan sering nunggak karena tidak mampu bayar.

"Suami saya kerja masang batu nisan, seminggu kadang cuma seratus sampai dua ratus ribu, itupun tidak cukup biaya sehari-hari," katanya.

Badriah sering meminjam uang tentangga untuk membeli beras,  karena dalam satu hari menghabiskan beras satu kilo. Itupun ia hemat untuk cukup sampai sore harinya.

Awalnya mereka tinggal bersama tujuh anaknya, namun beberapa hari lalu dikaruniai bayi kembar laki dan perempuan.

Saat ini bayi tersebut masih dirawat di rumah sakit karena membutuhkan perawatan intensif oleh dokter. "Kemarin ada orang dermawan bantu kami bawa kerumah sakit, diberi pampers dan sembako, alhamdulillah," tambah dia.

Melahirkan bayi kembar pun, awalnya ia lakukan seorang diri karena tidak ada biaya untuk ke bidan atau rumah sakit. "Bayi kan kembar, pertama lahir laki-laki sendiri saya gelar kasur, terus yang perempuan dibantu bidan di panggil suami saya," katanya.

Ia menambahkan, dalam keadaan hamil tuapun, ia tetap mengantar anaknya sekolah SD 1 Sukajawa yang berjarak dua kilometer dari kontrakannya.

"Pagi saya antar jalan kaki ke SD karena gak ada motor, pulang juga saya jemput itu kegiatan rutin setiap pagi," katanya.

Sementara itu, Firdaus mengatakan kontrakan sudah empat bulan menunggak, dimana satu bulan biaya tiga ratus ribu yang harus dia tebus. "Yang punya kontrakan sudah nanya terus, kata saya sabar belum ada uang," kata dia.